Pertama kali mengajar di kolong jembatan genap hampir satu tahun yang lalu, dengan modal cinta & keyakinan saya beranikan diri menjelajahi sudut2 perempatan lampu merah di jalanan. Nasihat salah satu penyanyi yang saya baca dalam biografi hidupnya, Opick, bahwa banyak sekali prajurit2 Allah yang bisa mencahayakan hidup, membuat saya semakin yakin dengan apa yang saya pilih dalam hidup. Prajurit2 Allah itu adalah, anak2 yatim, orang2 miskin, orang2 tua, janda2, dan dhuafa.
Pilihan saya di jalanan lebih spesifik kepada anak2, di rentang awal dan akhir. Karena menurut saya, mereka adalah fitrah. Cahaya matanya masih sebening telaga, cahaya surgawi. Hatinya masih jernih di kala bahagia, sedih dan marah. Otaknya masih leluasa berfikir tentang hal positif. Nafsunya masih meledak2 dan belum terdidik. Secara mental, mereka masih bisa dibina. Saya belum begitu peduli dengan mental para orang tuanya yang lebih dahulu memilih untuk mencari rezeki di jalanan, dan beberapa dari mereka berdalih bahwa mereka miskin, tak punya keterampilan, mencari uang itu susah dan tega mencampakkan anak2nya di jalan untuk mengumpulkan koin2 belas kasihan orang lain dengan dalih bahwa pendidikan itu mahal. Padahal menurut saya idealnya, hidup itu bisa diperjuangakan. Dengan usaha yang baik tentunya. Pun, jika perlu merayu Tuhan untuk mengubah takdir kita menjadi lebih baik, dengan bekerja, belajar, berdoa, bersedekah, silaturrahmi, atau sekedar bangun malam berkepanjangan dan meminta dimudahkan segala rizkinya. Itupun jika memang tujuan hidup mereka hanyalah untuk uang. Namun membangun mental bahwa kita ‘cukup’ bahkan ‘kaya’ itulah yang memerlukan perjuangan. However, Itu pilihan hidup mereka. Dan saya dulu, memilih berada pada posisi tidak mau peduli dan cenderung mengibarkan bendera ‘agak merah’ untuk para orang tua di jalanan. Karena bagi saya, hidup selalunya ada pilihan. Pun ketika tak ada pilihan, masih ada jalan mencari cahaya untuk mendapatkan segala kemudahan.
A, adalah satu dari sekian banyak anak yang menurut saya bukan takdirnya berada di jalanan. Ia berada disana semata2 kemiskinan mental orang tuanya. Mohon maaf mengatakan hal ini. Namun kenyataannya, A yang usianya saat ini sekitar 9 tahun harus ‘mengalah’ dengan perintah orang tuanya yang juga mencari uang di jalanan, untuk sekedar dipukul jika setorannya kurang hanya karena ia ikut belajar bersama teman-temannya yang lain. Bagi saya ini sebuah pembodohan mental, dan pelanggaran HAM. (*sigh). Bicara tentang pelanggaran membuat otak saya sakit. Karena pasti dari sudut pandang orang tua, mereka telah memberikan yang terbaik untuk A. Namun jika nyatanya tidak, apa juga hak saya ikut campur dalam urusan keluarga orang lain. Walaupun itu murid saya sendiri. Murid yang selalu membuat kami tersenyum di jalan. Yang lebih sakit ketika saya dengar sendiri, saat sebuah yayasan menawarkan utuk menyekolahkan A sengan syarat A harus menginap disana dan dibina. Sang Mama berkata, ‘K Rina, saya ini sakit paru2. Kalau A sekolah sampai menginap, siapa yang membiayai kami ? Ayahnya juga darah tinggi. Kakak A juga belum jelas kerjanya. Diman saat itu Mama, Ayah dan Kaka A semua duduk2 di jalan, disaat A, begitu antusis dan cerianya berlarian kesana kemari mengejar angkot untuk mengumpulkan recehan…. *sebel.
A seharusnya sudah berada di kelas 2 SD. Sayangnya hingga saat ini ia belum bisa membaca. Minggu lalu saat saya jenguk, dengan senang hatinya, ia berkata ; ‘Kaaa… aku sudah hafal sampai huruf G’. menyedihkan, karena A adalah anak yang bermukim di Jakarta, yang menghabiskan banyak waktunya di perempatan kawasan elit Pondok Indah, dan ia belum bisa membaca & menulis. Namun jago menghitung uang dan memainkan kecrekan ( musik dari botol aqua kecil yang didalamnya diisi beras)
Ketika ditanya tentang sekolah, matanya selalu tampak sedih dan menerawang. Ia selalu bilang, ‘Mama ga punya uang Ka’. Padahal, saya tau, orang tuanya bisa mendapatkan sekitar Rp. 20-30 ribu perhari yang berarti minimum Rp. 900ribu per bulan ya? Itu minimum. Belum ditambah penghasilan A yang harus mencari juga sekitar Rp. 20-30ribu perhari. Belum pendapatan ayahnya sebagai koordinator jalanan yang membawahi sekitar 50 orang sahabat jalanan. Bayangkan pendapatan mereka. Mungkin lebih besar dari pendapatanku sebagai seorang tukang ketik perusahaan… fwiiuhh.
Suatu hari A ikut bersama sahabat2 jalanan lainnya bermain mengunjungi Perpustakaan Ka’ Seto yang letaknya tak jauh dari tempat kami belajar. A, kelihatan antusias sekali bermain2,membaca, menulis, dan bereksplorasi. Hal yang paling disukainya hari itu adalah laptop. Entah untuk sekedar main games atau utak atik gambar. Mirisnya, beberapa saat setelah acara selesai, seorang anak berlari, dan mengatakan, bahwa A dipukul orang tuanya karena waktu A habis untuk bermain di perpuskataan dan penghasilannya hari itu kurang Rp. 20,000,-
Jika boleh berharap, ingin rasakan kujadikan A menjadi peneliti, mengingat rasa ingin tahunya yang begitu besar. Well, hanya bisa diusahakan. Tapi jadi apapun A nantinya, semoga tetap menjai anak2 yang ceria dan membawa manfaat bagi sekitarnya. Juga murid2ku yang lainnya, yang bakat seninya begitu terasa. Mimpiku, ingin rasanya muridku itu diajarkan musik alternative yang mendidik seperti yang dilakukan Dik Doank di KJD. Atau wakil rakyat untuk bidang pendidikan seperti Bang Mi’ing Bagito, Atau pencerita seperti Ka’ Awwam Prakoso, atau seperti K Seto, atau seperti Anang, atau seperti Cak Nun, atau pembaca puisi seperti teman2ku di TIM. Atau pelukis dan ilustrator seperti alm. ayahku, atau peyanyi dan bintang film terkenal.. atau… atau… atau….
Dan minggu lalu, secercah cahaya datang untk A. alhamdulillah Yayasan yang sama menawarkan A untuk belajar lagi tanpa menginap. Kini A Insyallah bisa sekolah, gratis, dan tetap mengamen selepas sekolah. Separuh hidupnya untuk dirinya, dan separuhnya lagi bisa untuk keluarganya. Subhanallah, anak sekecil itu….
RY*Rasuna Said*250110










Tidak ada komentar:
Posting Komentar