Kota besar seperti Jakarta masih dipusingkan dengan persoalan anak jalanan. Menurut catatan terdapat sekitar 30.000 anak jalanan di Jakarta. Dalam kampanye pemilihan gubernur Jakarta tempo lalu, Fauzi Bowo maupun Adang Daradjatun tidak secuil pun mengutak-atik solusi soal anak jalanan.
Terkait hal itu sekaligus menyambut Hari Anak Nasional, 23 Juli mendatang, SH menurunkan laporan khusus mengenai problema anak jalanan. Laporan terkait tersaji di halaman 10. Selamat menyimak!
Pelupa! Itulah agaknya satu sikap pemimpim bangsa. Mereka sering lupa dengan amanat yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satunya adalah hak bagi anak-anak telantar. Dalam pasal 34 UUD 1945 secara jelas ditegaskan bahwa anak telantar dipelihara oleh negara. Artinya, pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak telantar, termasuk anak jalanan.
Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keputusan Presiden RI No 36 tahun 1990 tentang pengesahan Convention of the Rights of Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak berisi 31 hak anak) juga menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak-hak yang kurang lebih sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Dengan demikian, mereka berhak hidup layak dan manusiawi.
Namun, kenyataan di lapangan kondisi anak jalanan kian memprihatinkan. Sebut saja di jalan-jalan utama Ibu Kota Negara yang bernama Jakarta tidak susah mencari pemandangan anak-anak jalanan yang mengais rezeki: entah menjadi pengemis, gelandangan atau pengamen jalanan. Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengatakan jumlah anak jalanan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mencapai sekitar 80.000 anak. Dari jumlah itu sekitar 30.000 anak jalanan berada di Ibu Kota Jakarta.
Jakarta mungkin bisa menyatakan bahwa persoalan anak jalanan juga terjadi di sejumlah kota besar dunia. Itu benar! Di Amsterdam, New York, London, Frankfurt, Malaysia, Thailand, India dan Filipina, persoalan anak jalanan juga sering membuat pusing pengelola kota setempat. Anak-anak yang terpaksa hidup di jalanan karena berbagai sebab juga semakin marak.
Meskipun berbeda dengan anak-anak jalanan di negara-negara itu, bukan berarti persoalan anak jalanan di Jakarta tidaklah penting. Masalah anak juga menyangkut nasib bangsa ini ke depan. Sebagian besar usia anak jalanan berkisar antara 7-12 tahun yang notabene adalah usia wajib belajar. Usia seperti itu merupakan tahapan operasional konkret, di mana anak mulai dapat berpikir logis mengenai objek dan kejadian.
Apa saja yang dialami seorang anak di jalanan, merupakan norma yang tidak tertulis, juga nilai yang memang semestinya dilakukan. Yang berbahaya, kalau pengaruh negatif yang dikondisikan, maka hal negatif itu pula yang tertanam.
Teori belajar sosial menyatakan, seseorang mempelajari sesuatu dengan mengamati apa yang dilakukan orang lain. Melalui belajar mengamati, secara kognitif seseorang akan menampilkan perilaku orang lain dan mungkin kemudian meng-adopsi perilaku tersebut (model-ling). Artinya, semua perilaku yang dilakukan seseorang merupakan hasil mengamati perilaku orang lain. Faktor-faktor seperti perilaku, kognitif, pribadi lain dan lingkungan, akan bekerja secara interaktif sehingga satu sama lain saling mempengaruhi.
Studi yang dilakukan di Filipina dan Amerika Latin setidaknya memilah anak jalanan dalam dua kategori. Anak-anak yang masih melakukan kontak secara rutin dengan orang tua di rumah disebut children on the street. Sedangkan anak-anak yang telah putus hubungan dengan orang tua disebut children of the street.
Dalam kenyataan di lapangan anak-anak jalanan di Jakarta (termasuk juga di sejumlah kota besar lainnya) malah menjadi objek penderitaan yang berkepanjangan. Mafia ikut nimbrung mengeksploitasi keluguan anak-anak tersebut termasuk juga bayi yang didandani compang-camping agar rupiah mengalir dari pengendara mobil atau sepeda motor di sudut-sudut jalan Jakarta.
Dalam sejumlah kasus tidak sedikit anak jalanan terutama yang perempuan mengalami nasib yang lebih mengenaskan lagi: mereka menjadi korban kepuasan seksual rekan-rekan anak-anak jalanan pria. Mereka hamil di saat yang tidak tepat.
Rumah Singgah Mandek
Untuk mengatasi persoalan anak jalanan sudah banyak program yang digulirkan. Sutiyoso ketika menjabat Gubernur Jakarta pernah melahirkan gagasan untuk membangun Rumah Singgah bagi anak-anak jalanan tersebut pada tahun 2003. Dengan menggunakan dana APBD, Bang Yos memulai program Rumah Singgah tersebut.
Sedikitnya 21 Rumah Singgah dibangun. Anak-anak jalanan pun digiring untuk lebih banyak berada di Rumah Singgah itu. Namun, belakangan program itu mandek karena Sutiyoso tidak menjadi gubernur Jakarta lagi.
Salah satu kelemahan penanganan anak-anak jalanan di Jakarta termasuk juga di Indonesia adalah para pendamping ataupun instansi pemerintah terkait tidak terlebih dahulu memahami akar persoalan kemunculan anak-anak jalanan, sehingga akhirnya mengalami ketidaktepatan dalam menerapkan model-model/strategi-strategi pendampingan.
Seakan tidak disadari bahwa motivasi ekonomi dan kekerasan dalam keluarga merupakan alasan yang paling sering mengantarkan anak-anak masuk ke dunia jalanan. Pilihan untuk menjeratkan diri pada kehidupan di jalanan didasarkan pada kenyataan bahwa jalan menyediakan berbagai kemungkinan mengais rezeki tanpa persyaratan formal, sebuah syarat yang tidak mungkin mereka miliki.
Selain itu, jalan menyimpan sejumlah aktivitas bernilai ekonomi. Tidaklah mengherankan bila di jalan anak-anak itu sanggup menyiasati kehidupan dengan menjadi tukang semir, pengasong, pengemis, pengamen, pengelap kaca mobil, dan sejenisnya. Para pengendara yang bisa juga dinamakan sebagai pemberi tampak tidak memedulikan nasib masa depan para anak jalanan.
Lepas dari itu masalah anak jalanan juga masalah bangsa ini. Karena itu pemimpin bangsa juga jangan tiba-tiba lupa atau memang pura-pura lupa sehingga penderitaan anak-anak jalanan terus berkepanjangan. Ayo, saatnya memberi senyum bagi bunga-bunga trotoar itu!
(norman meoko) * Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/21/jab06.html
Salam
Selamat datang di Raudhah Community. Komunitas sharing dan berbagi ilmu bersama pengamen, pemulung dan anak-anak jalanan, di taman bawah Fly Over Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Komunitas ini bersifat bebas, tidak mengingat keanggotaan dan tidak berada dibawah naungan organisasi sosial, politik & keagamaan manapun. Awalnya,terdiri dari sekelompok mahasiswa dan alumni Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mencoba membawa manfaat bagi sesama, khususnya komunitas jalanan.
Why Raudhah...? Sebuah impian dan harapan, semoga taman berbagi ilmu di jalanan ini, bisa menjadi salah satu taman2 surganya Allah... Semoga bisa membawa manfaat & kebaikan bagi kita semua. Amiinn
Untuk info dan korespondensi lebih lanjut, silahkan kirim email ke:
raudhahcommunity@gmail.com atau raudhahcommunity@yahoo.co.id
atau hubungi:
Kholilur Rokhman, Rina Yuliwati atau Eva Zulaifah
021-9145 2066 (kholil : erenpsycho@gmail.com) atau 021-963 91 467 (rina: sabrina.yuliwati@gmail.com) atau
021- 021 9899 6563 (eva: vazul_me@yahoo.co.id)
Kamis, 23 Oktober 2008
Anak Jalanan, Negara Tiba-tiba Kok Lupa*
Evaluasi Dampak Program Dukungan Anak Jalanan di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan*
Penerbit: PKPM, 2006. xiv, 133p (ISBN 979-8827-48-1)
Kerjasama dengan: SAVE THE CHILDREN/AS
Pada tahun 2001, PKPM dipercaya oleh Save the Children US untuk mengadakan baseline survey bai program anak jalanan di 4 kota (Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan). Survei tersebut merupakan bagian dari Proyek yang disebut USCES (Urban Street Children Empowerment and Support). Selang 3 tahun kemudian, yaitu tahun 2004, PKPM kembali diminta untuk mengadakan endline survey di 4 kota yang sama.
Dari berbagai penelitian terdahulu, anak jalanan didefinisikan sebagai anak yang berumur di bawah 18 tahun yang menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk beraktivitas di jalanan, atau di tempat-tempat umum lainnya seperti terminal bis, stasiun kereta api, pasar, tempat hiburan, pusat perbelanjaan, atau taman kota. Aktivitas yang dilakukan bervariasi, dari sekedar mnghabiskan waktu bersama teman sebaya, sampai menjalani hidup (tidur, makan, dll) dan mencari penghidupan di jalanan. Namun, pada umumnya adalah mencari uang dengan cara mengasong, mengamen, memulung, meminta-minta, menyemir sepatu, menjadi kuli pasar, dan lainnya.
Pemenuhan kebutuhan ekonomi, seringkali dijadikan alasan utama dari keberadaan anak di jalanan. Dengan menggunakan sebagian besar waktunya untuk beraktivitas di jalanan, anak seringkali dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan dan sangat rentan terhadap berbagai persoalan psikologis dan sosial yang sangar mempengaruhi kualitas perkembangan fisik dan psikis mereka.
Populasi dalam studi ini adalah anak-anak yang didampingi/dibina olh 23 LSM di 4 kota (Jakarta, Bandung, Mdan, dan Surabaya) yang pada saat endline survey masih terkait engan program "Urban Street Chilren Empowerment dan Support", Save the Children/US (SAVE) meskipun tidak lagi mndapatkan dukungan dana.
Teknik dari penarikan sampel yang digunakan untuk memilih anak jalanan yang akan disurvei dalam studi ini adalah tehnik Convenience Sampling.
Tujuan umum dari endline survey Program Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan ini adalah untuk mengukur dampak program pemberdayaan anak jalanan yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik yang mendapat dukungan dana dari SAVE maupun tidak.
*Sumber :http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=13&id=3083
Ibu Ani: Jangan Abaikan Hak-Hak Anak Jalanan*
Dalam kesempatan ini Ibu Ani mengingatkan bahwa persoalan anak jalanan sangat kompleks. Namun anak jalanan juga anak Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa, dan berperan strategis untuk menjamin kelangsungan dan eksistensi bangsa dan Negara mendatang.
Sejalan dengan itu, kemajuan pembangunan suatu bangsa merupakan cermin sejauh mana telah berhasil makna perlindungan terhadap hak-hak anak. Dengan perkataan lain, bagi suatu bangsa upaya perlindungan anak adalah investasi masa depan.
“Kita semua sadar bahwa anak jalanan sering kurang mendapat perhatian, karena anak masih dianggap , sekali lagi; obyek milik orangtua dan hak-haknya terlupakan. Seperti anak-anak di jalanan karena mereka dipaksa untuk membantu mencari nafkah dengan cara meminta-minta sehingga hak anak terabaikan,” katanya.
Hak-hak anak, menurut Ibu Ani; berupa hak untuk hidup, hak untuk bisa tumbuh, berkembang dan berprestasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
“Serta tentu saja mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” tambahnya.
Sementara itu Menko Kesra Aburizal Bakrie mengemukakan pembangunan P3SA merupakan bukti perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan sosial bagi anak-anak, yakni anak-anak yang terabaikan.
Perhatian yang lebih mendalam bagi anak merupakan tugas bersama, sesuai pasal 34 UUD 1945 untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar.
Persoalan anak bukan masalah baru, melainkan masalah klasik yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin kompleks. Masa lalu masalah anak dan kesejahteraan sosial anak relatif lebih sederhana, sehingga pembinaan anak telantar, anak yatim, anak piatu, anak yatim piatu telantar bisa ditangani oleh panti-panti sosial, seperti panti asuhan.
Pada saat ini dihadapkan pada masalah lebih kompleks, yang mencakup pula anak jalanan, anak yang diperdagangkan, anak yang dilacurkan, maupun anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kalau ditinjau lebih jauh, persoalan anak juga dipicu oleh lingkaran kemiskinan, seperti rendahnya tingkat pendidikan, tingkat kesehatan dan gizi buruk di dalam lingkungan rumah tangga.
Perbaikan dan peningkatan status masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik, terus diusahakan melalui berbagai program, seperti pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi bagi masyarakat miskin serta bantuan penuntasan wajib belajar sembilan tahun.
Program-program tersebut diharapkan dapat memutuskan satu lingkaran kemiskinan sehingga tidak diwariskan turun temurun. Namun hal ini masih perlu dibarengi dengan upaya lain yang lebih menyentuh persoalan anak itu sendiri.
Dengan berdirinya P3SA diharapkan bisa menjawab kompleksitas persoalan anak. “Saya sepakat dengan Menteri Sosial untuk ke depan di seluruh Indonesia ada P3SA,” katanya.
Menurut Menko Kesra anak-anak telantar di jalanan yang dibina melalui rumah singgah dapat lebih jauh disiapkan untuk dapat kembali dan diterima oleh keluarganya. Hal ini bisa dilaksanakan karena P3SA tidak hanya memberikan pelayanan dasar, melainkan juga merehabilitasi mentalnya sehingga mereka menemukan kembali rasa percaya dirinya.
Selain pelayanan dasar dan rehabilitasi sosial, juga diberikan resoisialisasi melalui pendidikan formal dan pelatihan ketrampilan. Persoalan anak merupakan persoalan masa depan bangsa, merekalah calon-calon pemimpin bangsa. Oleh karena menjadi tanggung jawab semua pihak untuk memberikan perhatian kepada mereka. Selain menggunakan sumber daya sosial pelayanan anak dari anggaran pemerintah, pembangunan P3SA ini juga didanai oleh Program Pangan Dunia (WFP, di bawah PBB).
WFP juga memberi bantuan untuk pembangunan rumah ibadah di Poso, dan gudang penyimpanan pangan di Yahukimo (Papua). “Karena uangnya dari masyarakat, maka kita kembalikan lagi untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan melalui program-program yang dilaksanakan WFP yang dikoordinator Kementerian Koordinator Bidang Kesra,” katanya.
“Selain masalah-masalah fisik, juga dilakukan rehabilitasi gizi, ibu hamil dan menyesui, balita dan murid SD. Kita menyadari masalah anak telantar di masyarakat bukan hanya tugas pemerintah saja, melainkan perlu didukung oleh seluruh komponen masyarakat.” (broto)
*sumber dari http://www.menkokesra.go.id/content/view/2107/39/
DUA ANAK JALANAN DITERIMA DI UI
raudhah: Dua anak jalanan yang setiap hari mengamen di terminal terpadu Kota Depok, Jawa Barat berhasil lolos diterima di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI) tahun ajaran 2008-2009.
Kedua anak tersebut adalah Ayatullah Khaimi dan Aish Alim. Keduanya berprofesi sebagai pengamen di terminal Depok dan sebagai pedagang asongan di kereta api.
Pendiri sekolah gratis terminal Depok, Nur Rochim, di Depok, Selasa mengatakan bangga dengan prestasi yang dicapai anak asuhnya, karena dengan keterbatasan sarana dan prasarana belajar mengajar mereka dapat lolos di perguruan tinggi yang menjadi favorit di Indonesia.
"Saya cuma berpesan agar mereka yang tidak mampu jangan putus asa dan tidak minder, teruslah belajar agar tercapai cita-cita," katanya.
Ia mengatakan anak jalanan yang bersekolah ditempat tersebut, bebas mengatur jadwal belajar sendiri. Mereka tetap dapat melakukan aktivitas sehari-harinya tanpa menganggu jam belajar.
Dalam sehari, ada tiga sesi belajar yakni pagi, siang dan sore. Dengan jadwal yang fleksibel tersebut para siswa dapat mengikuti pelajaran.
Pada awal terbentuknya sekolah tersebut kata Nur Rochim, banyak anak jalanan, pengemis cilik, dan pengamen berkeliaran di sekitar terminal Depok. Maka muncul ide untuk merangkul mereka melalui pendidikan, itulah konsep awal lahirnya sekolah terminal.
"Jiwa saya tergerak untuk mendirikan sekolah tersebut untuk mengubah gaya hidup mereka yang terkesan brutal, liar dan seenaknya," kata Nur Rochim.
Sekolah di terminal tersebut yang memang gratis bagi para anak jalanan, seperti para pengemis, dan pengamen yang sering beroperasi di sekitar terminal tersebut.
Seiring dengan waktu karena semakin tingginya biaya pendidikan, maka yang bersekolah gratis diterminal Depok tersebut meningkat tajam.
Menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat bawah akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) semakin bertambah dengan biaya masuk sekolah yang terbilang mahal di Depok. (mo/hr)
MODUL ADVOKASI HAK ANAK*
Khazanah kepustakaan Indonesia di bidang advokasi sekalipun masih cukup terbatas, namun sudah cukup beragam. Berbagai literatur tersebut umumnya lebih mengedepankan mengenai jenis advokasi, alur advokasi dan hal-hal lain yang perlu dilakukan dalam gerakan advokasi. Buku Panduan Advokasi ini akan menjadi pengisi ceruk buku advokasi secara unik, karena mengedepankan mengenai aspek komunikasi persuasif dalam setiap tahap proses advokasi. Pendekatan komunikasi persiasif ini secara fleksibel dapat diterapkan dalam berbagai bentuk kegiatan advokasi apapun.
Pendekatan persuasif ini secara lebih spesifik menggunakan ilmu baru yang disebut Neuro Linguistic Programming (NLP), yang akan dijelaskan secara khusus dalam modul ini. Salah satu teknik yang dipergunakan adalah penggunaan bahasa-bahasa sugestif untuk mendorong stake holder agar bersedia berubah. Bahasa sugestif ini dimodel oleh NLP berbasif dari pola bahasa hipnotik yang sangat terkenal dan dipakai secara ekstensif dalam memfasilitasi perubahan dalam dunia kesehatan mental.
Panduan advokasi ini didesain untuk bisa dipergunakan sesuai dengan isu yang berkaitan dengan program kerja Unicef (United Nations Children's Fund). Dari pengalaman melakukan pelatihan ini di berbagai kabupaten dan kota, materi ini sudah diaplikasikan untuk beberapa isu berikut:
· Advokasi Penyederhanaan Prosedur Pencatatan Kelahiran.
· Advokasi Penggratisan Akta Kelahiran.
· Advokasi Garam Beryodium.
· Advokasi Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk pada Anak (BPTA).
· Advokasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA).
· Advokasi Trafficking (Perdagangan manusia, khususnya anak dan perempuan)
© UNICEFIndonesia/2007
Aplikasi panduan pelatihan advokasi ini untuk wilayah kerja lain seperti pendidikan, kesehatan reproduksi, HIV/AIDS dan sebagainya juga sangat dimungkinkan, karena metode-metode yang digunakan amat fleksibel untuk berbagai isu.
Penerapan Panduan Advokasi ini dititikberatkan dalam tataran legislatif dan eksekutif, sekalipun prinsip-prinsipnya tetap bisa diterapkan dalam tataran mobilisasi sosial juga.
Sesuai garis kerja Unicef yang selama ini bermitra dengan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) provinsi, panduan ini disusun dengan kondisi ideal gabungan peserta dari staf Pemda terkait, LSM, Orsos/Ormas dan wartawan lokal. Dengan demikian, pelatihan ini akan memiliki situasi unik yakni menggunakan tiga tahap advokasi:
1. Pada saat proses pelatihan, terjadi proses advokasi secara internal kepada peserta yang berasal dari jajaran Pemda terkait. Di mana dalam proses akan terjadi perbenturan nilai-nilai, keyakinan dan kepentingan pribadi/golongan dengan kepentingan yang diperjuangkan. Di sini pentingnya melibatkan LSM, Orsos/Ormas yang kompeten dalam persoalan isu dan peserta dari dinas/instansi pemerintah terkait agar terjadi dialektika yang diinginkan.
Misalnya saat pelatihan advokasi Penyederhanaan Prosedur/Penggratisan Akta Kelahiran, tak jarang telihat bahwa peserta dari Dinas Catatan Sipil merasa gamang untuk terlibat pada awal pelatihan karena implikasi pada pekerjaannya sudah terasa sangat jelas.
Pada saat yang sama juga terjadi advokasi media, karena wartawan yang menjadi peserta pun akan mengalami benturan-benturan konsep dan pemahaman yang mungkin berbeda dengan yang selama ini dianutnya (lihat modul 11: Advokasi Media).
2. Mengadvokasi Legislatif/DPRD melalui hearing dengan bertumpu pada kekuatan gabungan peserta eksekutif (staf Pemda) LSM, dan Orsos/Ormas.
3. Mengadvokasi Eksekutif (Bupati atau Walikota) melalui hearing oleh peserta yang sama.
Keberhasilan di tahap 1 akan berpengaruh pada tahap 2, keberhasilan tahap 2 akan mempengaruhi tahap 3. Di sinilah peran kemampuan persuasi dibutuhkan semua pihak dan sekaligus hal ini menjadi ciri khas modul ini.
(modul versi PDFdapat diperoleh dengan meng-download langsung dari halaman dibawah ini)
DOWNLOAD : Modul Advokasi Hak Anak Berbasis NLP
* sumber dari http://www.unicef.org/indonesia/id/resources_6899.html
NGABUBURIT WITH RAUDHAH
Salam Sahabat,
Alhamdulillah, pada hari sabtu tgl 20 September lalu, Raudhah Community telah melaksanakan acara Ngabuburit on The Street 3. Acara ini dipandu oleh beberapa trainer dan volunteer Raudhah Community, dengan beberapa program:
- Observasi lapangan. Acara ini dimulai dengan observasi dan dokumentasi kegiatan kerja dan evaluasi data base sahabat jalanan, dari pukul 14.00 di perempatan lampu merah Carrefour Lebak Bulus Jakarta Selatan.
- Program Berbagi Ilmu - Berupa program pengajaran, dengan subjek Bahasa Inggris, tema 'Learning Number in the Nature'. Dengan jumlah trainer 5 orang dan jumlah murid sekitar 8 orang, dari usia 2-9 tahun. Acara ini dimulai pukul 14.30 sampai 16.30 di bawah fly over Carrefour Lebak Bulus, di markas Raudhah.
- Buka Puasa bersama sahabat jalanan. Acara ini dimulai dengan berbagai games, dan pengenalan pengetahuan Islam singkat. Dimulai pukul 17.30 saapai maghrib, dengan jumlah peserta sahabat jalanan mencapai 40 orang, yang terdiri dari pengamen dan pemulung. Juga dihadiri beberapa orang tua sahabat jalanan yang bekerja sebagai pedagang asongan.
Salam,
team raudhah
SELAMATKAN ANAK BANGSA
Sebuah Observasi tentang Kondisi Jalanan – Miniatur Bangsa.
Seorang anak, terutama pada usia balita, idealisnya mendapatkan jaminan untuk kehidupan yang layak dari kedua orang tuanya, keluarganya, maupun masyarakat sekitarnya. Jaminan keamanan secara ekonomi dan sosial, penyediaan pendidikan yang layak, penanaman moral dan akhlak sejak dini, serta pemberian gizi dan nutrisi yang memadai, menjadi hal utama yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak terutama pada masa-masa keemasannya antar 1-5 tahun (Golden Age). Pada masa perkembangan ini, seorang anak seharusnya diberikan ruang untuk bermain & bereksplorasi secara motorik, belajar bahasa dan pengetahuan tentang hal-hal disekelilingnya dalam perkembangan kognitifnya, mendapatkan model dan arahan tentang moral dan akhlak, serta mengasah emosinya dengan merasakan curahan kasih sayang dari anggota keluarga yang terdekatnya. Pemberian kesempatan belajar ini merupakan bagian terpenting dari pembentukan karakter seseorang anak di masa depannya kelak sehingga diharapkan mampu menjadi generasi yang tangguh dan mandiri, baik secara intelektual, spiritual, emosional, social, dan ekonomi.
Orang tua, sebagai agen pendidik yang pertama dan utama dalam kehidupan seorang anak, seharusnya bertanggung jawab atas masa depan bibit generasi bangsa ini. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak seberuntung itu. Banyak anak di sekitar kita yang terbelenggu masa emasnya, hanya karena ketidaktahuan dari kedua orang tuanya, yang sering mengatasnamakan 'faktor ekonomi' sebagai dalih kurangnya pemberian pendidikan bagi anaknya. Penulis yakin siapapun orangnya, apabila telah menjadi orang tua, hati nurani akan membawanya untuk melakukan hal yang terbaik bagi anak-anaknya. Orang tua, dibebaskan untuk memilih berbagai profesi untuk menjamin kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya semaksimal mungkin. Hal ini merupakan kewajiban agar sebuah keluarga bisa keluar dari belenggu kemiskinan dan mampu menujukkan kemandirian.
Maka ketika seseorang, misalnya memilih profesi sebagai ‘orang jalanan, seharusnya dia tidak membebankan permasalahan kemiskinan kepada anak-anaknya dalam pilihan hidupnya. Dilihat dari kacamata manapun, menurut saya membawa seorang anak mencari nafkah dan turun ke jalan adalah sebuah kejahatan besar bagi generasi bangsa. Apalagi, ketika anak tersebut dijadikan ‘promosi’ dari ketidaktegaan dan rasa iba masyarakat, untuk meraup keuntungan materi orang tuanya sehari-hari. Sungguh, sangat tidak manusiawi.
Anak-anak yang tidak beruntung itu, salah satunya Seperti, Fitri 2 tahun, yang harus ikut ibunya ke jalan untuk mencari uang di sekitar perempatan jalan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Seorang anak yang memiliki mata indah, dan senyum ketika belajar dan bermain angka. Sehari-hari, Fitri diajak ibunya untuk berkeliling mengamen dari satu angkot ke angkot lain. Fitri, terlalu pendiam untuk anak seusianya. Di sela-sela istirahat ia hanya memainkan botol aqua di jalan, memandangai kendaraan yang lalu lalang atau terkadang bermain bola di kolong Fly Over Lebak Bulus. Sementara itu orang tuanya, duduk dari jauh mengawasinya. 'Mengawasi' sesungguhnya merupakan sebuah kata yang tidak relefan. Bagi penulis, orang tua yang seperti itu secara tidak sadar telah ‘membunuh’ karakter positif pada anak-anaknya sendiri. Anak seperti Fitri, tidak lagi memiliki kesempatan untuk bermain dan bercerita secara terbuka dan kritis, tidak mendapatkan keharangatn sebuah keluraga dan konsep tentang rumah.
Fitri hanya salah satu contoh, dari sekian banyak generasi anak bangsa yang besar di jalanan. Bayangkan jika dalam 1 kawasan lampu merah saja, ada 1 sampai 5 orang Fitri, maka berapa banyak perempatan di seluruh kota Jakarta saja, apalagi Indonesia. Akan dibawa kemanakan generasi bangsa ini 10 tahun kedepan? Sementara itu, pemerintah masih saja sibuk mengurus hal-hal konsep dalam ruang lingkup kenegaraan, yang menurut mereka menjadi prioritas besar dalam agenda bangsa. Mereka terlalu berfikir besar, namun melupakan perbuatan untuki hal-hal yang kecil. Anak jalanan, mungkin remeh temeh. Namun ini masalah bangsa,yang semoga tidak di cap menjadi bangsa gembel.
Secara ekonomi, komoditas anak-anak di jalanan merupakan kejahatan besar yang terorganisir. Bayangkan, apabila dalam 1 hari seorang anak mendapatkan Rp. 200,000 – 25,000, dan harus menyetor uang sekitar Rp. 5,000-10,000 per anak kepada ‘koordinator’, maka misalnya jika dalam 1 perempatan terdapat 40 anak, pendapatan ‘koordinator’ tersebut kira-kira mencapai Rp. 200,000 sampai 400,000 perhari. Dalam sebulan akan mengantongi sekitar Rp. 6,000,000- 12,000,000. Sebuah jumlah yang besar dan menggiurkan. Bahkan setara dengan gaji level manager di perusahaan-perusahaan elit di Jakarta.
Sekarang, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menyelamatkan generasi jalanan ini? Pada kenyataannya sudah terlalu banyak, orang tua2 ‘bodoh’ (maaf) yang kehilangan hati nurani, tega menjual anaknya sebagai komoditi untuk mencari nafkah. Penyediaan fasilitas berupa pengadaan panti social, mungkin bisa menjadi solusi namun terkadang tidak efisien. Secara, karena setiap kali ada penertiban, semua komunitas jalanan akan berlari menyelamatkan diri dan bersembunyi, lalu selang beberapa jam kemudian kembali lagi. Seperti jamur. Ataukah, dengan memberi uang Rp. 500 rupiah kepada pengamen jalanan bisa menunjukkan kepedulian kita sebagai bagian dari bangsa? Sama sekali tidak tepat. Justru dengan memberikan uang itulah generasi jalanan semakin kuat di jalan.
Menurut penulis solusi yang tepat adalah membina mental generasi jalanan ini yaitu bagaimana caranya membuat mereka memiliki mental yang mandiri, yang terbebas dari 'ketidakberdayaan' dan pola pikir konsumtif dan materialistik. Mental generasi jalanan, adalah mental survival, bebas dan tidak teratur. Kelihatannya mereka mandiri, namun sesungguhnya mereka rapuh dan terbelenggu. Mereka tidak mau dan tidak mampu memilih alternative lain sebagi pilihan hidupnya. Mereka belum mampu berfikir lebih dari sekedar pemenuhan dasar kebutuhan hidupnya, yaitu makan, minum dan uang. Maka penulis setuju untuk bergabung dengan aksi stop memberikan uang kepada anak-anak jalalan, karena toh yang menikmati bukan hanya mereka, namun orang orang tuanya, dan lebih besar lagi, jaringan premanisme jalanan. Ini bukanlah keadilan. Ini kezholiman.
Permasalahan ini tidak akan selesai dengan menyalahkan berbagai pihak. Namun sedikit perbuatan dan empati untuk merubah generasi jalanan menjadi generasi yang tanguh dan mandiri, dan manfaat di masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah, swasta, LSM, mahasiswa dan masyarakat, merupakanan elemen dari perubahan generasi bangsa. Hal ini bisa diupayakan dengan mengadakan kegiatan berupa pembinaan mental, pemberian basic life skill, pendidikan informal, training-training dan mentoring di panti dan non panti, diluar atau di jalanan. Semua ini menjadi PR bersama seluruh elemen bangsa.
Lembaga Privat Raudhah Community
Alhamdulillah, Raudhah Community saat ini sedang membuat Lembaga Privat untuk umum. Hal ini dimaksudkan untuk menambah income untuk Kas Raudhah Community dan pendapatan untuk para volunteer dan teacher. Berikut mata pelajaran yang akan di ajarkan:
1) al Qur'an:
Mulai dari Iqro dengan Metode Annur dan atau Iqro
Siswa : Anak2 dan Dewasa, Indonesia atau foreigner
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
2) Matematika
Siswa : SD & SMP
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
3) IPA
Siswa : SD
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
4) Bahasa Inggris
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
5) Bahasa Inggris
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
Silahkan hubungi:
Rina di 021 963 91467, email: sabrina.yuliwati@gmail.com
atau
Eva di 021 9899 6563, email: vazul_me@yahoo.co.id









diambil dari website Sahabat Anak