Salam
Sahabat semua,
Selamat datang di Raudhah Community. Komunitas sharing dan berbagi ilmu bersama pengamen, pemulung dan anak-anak jalanan, di taman bawah Fly Over Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Komunitas ini bersifat bebas, tidak mengingat keanggotaan dan tidak berada dibawah naungan organisasi sosial, politik & keagamaan manapun. Awalnya,terdiri dari sekelompok mahasiswa dan alumni Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mencoba membawa manfaat bagi sesama, khususnya komunitas jalanan.
Why Raudhah...? Sebuah impian dan harapan, semoga taman berbagi ilmu di jalanan ini, bisa menjadi salah satu taman2 surganya Allah... Semoga bisa membawa manfaat & kebaikan bagi kita semua. Amiinn
Untuk info dan korespondensi lebih lanjut, silahkan kirim email ke:
raudhahcommunity@gmail.com atau raudhahcommunity@yahoo.co.id
atau hubungi:
Kholilur Rokhman, Rina Yuliwati atau Eva Zulaifah
021-9145 2066 (kholil : erenpsycho@gmail.com) atau 021-963 91 467 (rina: sabrina.yuliwati@gmail.com) atau
021- 021 9899 6563 (eva: vazul_me@yahoo.co.id)
Selamat datang di Raudhah Community. Komunitas sharing dan berbagi ilmu bersama pengamen, pemulung dan anak-anak jalanan, di taman bawah Fly Over Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Komunitas ini bersifat bebas, tidak mengingat keanggotaan dan tidak berada dibawah naungan organisasi sosial, politik & keagamaan manapun. Awalnya,terdiri dari sekelompok mahasiswa dan alumni Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mencoba membawa manfaat bagi sesama, khususnya komunitas jalanan.
Why Raudhah...? Sebuah impian dan harapan, semoga taman berbagi ilmu di jalanan ini, bisa menjadi salah satu taman2 surganya Allah... Semoga bisa membawa manfaat & kebaikan bagi kita semua. Amiinn
Untuk info dan korespondensi lebih lanjut, silahkan kirim email ke:
raudhahcommunity@gmail.com atau raudhahcommunity@yahoo.co.id
atau hubungi:
Kholilur Rokhman, Rina Yuliwati atau Eva Zulaifah
021-9145 2066 (kholil : erenpsycho@gmail.com) atau 021-963 91 467 (rina: sabrina.yuliwati@gmail.com) atau
021- 021 9899 6563 (eva: vazul_me@yahoo.co.id)
Kamis, 23 Oktober 2008
SELAMATKAN ANAK BANGSA
GENERASI JALANAN – GENERASI MASA DEPAN BANGSA
Sebuah Observasi tentang Kondisi Jalanan – Miniatur Bangsa.
Seorang anak, terutama pada usia balita, idealisnya mendapatkan jaminan untuk kehidupan yang layak dari kedua orang tuanya, keluarganya, maupun masyarakat sekitarnya. Jaminan keamanan secara ekonomi dan sosial, penyediaan pendidikan yang layak, penanaman moral dan akhlak sejak dini, serta pemberian gizi dan nutrisi yang memadai, menjadi hal utama yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak terutama pada masa-masa keemasannya antar 1-5 tahun (Golden Age). Pada masa perkembangan ini, seorang anak seharusnya diberikan ruang untuk bermain & bereksplorasi secara motorik, belajar bahasa dan pengetahuan tentang hal-hal disekelilingnya dalam perkembangan kognitifnya, mendapatkan model dan arahan tentang moral dan akhlak, serta mengasah emosinya dengan merasakan curahan kasih sayang dari anggota keluarga yang terdekatnya. Pemberian kesempatan belajar ini merupakan bagian terpenting dari pembentukan karakter seseorang anak di masa depannya kelak sehingga diharapkan mampu menjadi generasi yang tangguh dan mandiri, baik secara intelektual, spiritual, emosional, social, dan ekonomi.
Orang tua, sebagai agen pendidik yang pertama dan utama dalam kehidupan seorang anak, seharusnya bertanggung jawab atas masa depan bibit generasi bangsa ini. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak seberuntung itu. Banyak anak di sekitar kita yang terbelenggu masa emasnya, hanya karena ketidaktahuan dari kedua orang tuanya, yang sering mengatasnamakan 'faktor ekonomi' sebagai dalih kurangnya pemberian pendidikan bagi anaknya. Penulis yakin siapapun orangnya, apabila telah menjadi orang tua, hati nurani akan membawanya untuk melakukan hal yang terbaik bagi anak-anaknya. Orang tua, dibebaskan untuk memilih berbagai profesi untuk menjamin kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya semaksimal mungkin. Hal ini merupakan kewajiban agar sebuah keluarga bisa keluar dari belenggu kemiskinan dan mampu menujukkan kemandirian.
Maka ketika seseorang, misalnya memilih profesi sebagai ‘orang jalanan, seharusnya dia tidak membebankan permasalahan kemiskinan kepada anak-anaknya dalam pilihan hidupnya. Dilihat dari kacamata manapun, menurut saya membawa seorang anak mencari nafkah dan turun ke jalan adalah sebuah kejahatan besar bagi generasi bangsa. Apalagi, ketika anak tersebut dijadikan ‘promosi’ dari ketidaktegaan dan rasa iba masyarakat, untuk meraup keuntungan materi orang tuanya sehari-hari. Sungguh, sangat tidak manusiawi.
Anak-anak yang tidak beruntung itu, salah satunya Seperti, Fitri 2 tahun, yang harus ikut ibunya ke jalan untuk mencari uang di sekitar perempatan jalan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Seorang anak yang memiliki mata indah, dan senyum ketika belajar dan bermain angka. Sehari-hari, Fitri diajak ibunya untuk berkeliling mengamen dari satu angkot ke angkot lain. Fitri, terlalu pendiam untuk anak seusianya. Di sela-sela istirahat ia hanya memainkan botol aqua di jalan, memandangai kendaraan yang lalu lalang atau terkadang bermain bola di kolong Fly Over Lebak Bulus. Sementara itu orang tuanya, duduk dari jauh mengawasinya. 'Mengawasi' sesungguhnya merupakan sebuah kata yang tidak relefan. Bagi penulis, orang tua yang seperti itu secara tidak sadar telah ‘membunuh’ karakter positif pada anak-anaknya sendiri. Anak seperti Fitri, tidak lagi memiliki kesempatan untuk bermain dan bercerita secara terbuka dan kritis, tidak mendapatkan keharangatn sebuah keluraga dan konsep tentang rumah.
Fitri hanya salah satu contoh, dari sekian banyak generasi anak bangsa yang besar di jalanan. Bayangkan jika dalam 1 kawasan lampu merah saja, ada 1 sampai 5 orang Fitri, maka berapa banyak perempatan di seluruh kota Jakarta saja, apalagi Indonesia. Akan dibawa kemanakan generasi bangsa ini 10 tahun kedepan? Sementara itu, pemerintah masih saja sibuk mengurus hal-hal konsep dalam ruang lingkup kenegaraan, yang menurut mereka menjadi prioritas besar dalam agenda bangsa. Mereka terlalu berfikir besar, namun melupakan perbuatan untuki hal-hal yang kecil. Anak jalanan, mungkin remeh temeh. Namun ini masalah bangsa,yang semoga tidak di cap menjadi bangsa gembel.
Secara ekonomi, komoditas anak-anak di jalanan merupakan kejahatan besar yang terorganisir. Bayangkan, apabila dalam 1 hari seorang anak mendapatkan Rp. 200,000 – 25,000, dan harus menyetor uang sekitar Rp. 5,000-10,000 per anak kepada ‘koordinator’, maka misalnya jika dalam 1 perempatan terdapat 40 anak, pendapatan ‘koordinator’ tersebut kira-kira mencapai Rp. 200,000 sampai 400,000 perhari. Dalam sebulan akan mengantongi sekitar Rp. 6,000,000- 12,000,000. Sebuah jumlah yang besar dan menggiurkan. Bahkan setara dengan gaji level manager di perusahaan-perusahaan elit di Jakarta.
Sekarang, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menyelamatkan generasi jalanan ini? Pada kenyataannya sudah terlalu banyak, orang tua2 ‘bodoh’ (maaf) yang kehilangan hati nurani, tega menjual anaknya sebagai komoditi untuk mencari nafkah. Penyediaan fasilitas berupa pengadaan panti social, mungkin bisa menjadi solusi namun terkadang tidak efisien. Secara, karena setiap kali ada penertiban, semua komunitas jalanan akan berlari menyelamatkan diri dan bersembunyi, lalu selang beberapa jam kemudian kembali lagi. Seperti jamur. Ataukah, dengan memberi uang Rp. 500 rupiah kepada pengamen jalanan bisa menunjukkan kepedulian kita sebagai bagian dari bangsa? Sama sekali tidak tepat. Justru dengan memberikan uang itulah generasi jalanan semakin kuat di jalan.
Menurut penulis solusi yang tepat adalah membina mental generasi jalanan ini yaitu bagaimana caranya membuat mereka memiliki mental yang mandiri, yang terbebas dari 'ketidakberdayaan' dan pola pikir konsumtif dan materialistik. Mental generasi jalanan, adalah mental survival, bebas dan tidak teratur. Kelihatannya mereka mandiri, namun sesungguhnya mereka rapuh dan terbelenggu. Mereka tidak mau dan tidak mampu memilih alternative lain sebagi pilihan hidupnya. Mereka belum mampu berfikir lebih dari sekedar pemenuhan dasar kebutuhan hidupnya, yaitu makan, minum dan uang. Maka penulis setuju untuk bergabung dengan aksi stop memberikan uang kepada anak-anak jalalan, karena toh yang menikmati bukan hanya mereka, namun orang orang tuanya, dan lebih besar lagi, jaringan premanisme jalanan. Ini bukanlah keadilan. Ini kezholiman.
Permasalahan ini tidak akan selesai dengan menyalahkan berbagai pihak. Namun sedikit perbuatan dan empati untuk merubah generasi jalanan menjadi generasi yang tanguh dan mandiri, dan manfaat di masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah, swasta, LSM, mahasiswa dan masyarakat, merupakanan elemen dari perubahan generasi bangsa. Hal ini bisa diupayakan dengan mengadakan kegiatan berupa pembinaan mental, pemberian basic life skill, pendidikan informal, training-training dan mentoring di panti dan non panti, diluar atau di jalanan. Semua ini menjadi PR bersama seluruh elemen bangsa.
Sebuah Observasi tentang Kondisi Jalanan – Miniatur Bangsa.
Seorang anak, terutama pada usia balita, idealisnya mendapatkan jaminan untuk kehidupan yang layak dari kedua orang tuanya, keluarganya, maupun masyarakat sekitarnya. Jaminan keamanan secara ekonomi dan sosial, penyediaan pendidikan yang layak, penanaman moral dan akhlak sejak dini, serta pemberian gizi dan nutrisi yang memadai, menjadi hal utama yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak terutama pada masa-masa keemasannya antar 1-5 tahun (Golden Age). Pada masa perkembangan ini, seorang anak seharusnya diberikan ruang untuk bermain & bereksplorasi secara motorik, belajar bahasa dan pengetahuan tentang hal-hal disekelilingnya dalam perkembangan kognitifnya, mendapatkan model dan arahan tentang moral dan akhlak, serta mengasah emosinya dengan merasakan curahan kasih sayang dari anggota keluarga yang terdekatnya. Pemberian kesempatan belajar ini merupakan bagian terpenting dari pembentukan karakter seseorang anak di masa depannya kelak sehingga diharapkan mampu menjadi generasi yang tangguh dan mandiri, baik secara intelektual, spiritual, emosional, social, dan ekonomi.
Orang tua, sebagai agen pendidik yang pertama dan utama dalam kehidupan seorang anak, seharusnya bertanggung jawab atas masa depan bibit generasi bangsa ini. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak seberuntung itu. Banyak anak di sekitar kita yang terbelenggu masa emasnya, hanya karena ketidaktahuan dari kedua orang tuanya, yang sering mengatasnamakan 'faktor ekonomi' sebagai dalih kurangnya pemberian pendidikan bagi anaknya. Penulis yakin siapapun orangnya, apabila telah menjadi orang tua, hati nurani akan membawanya untuk melakukan hal yang terbaik bagi anak-anaknya. Orang tua, dibebaskan untuk memilih berbagai profesi untuk menjamin kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya semaksimal mungkin. Hal ini merupakan kewajiban agar sebuah keluarga bisa keluar dari belenggu kemiskinan dan mampu menujukkan kemandirian.
Maka ketika seseorang, misalnya memilih profesi sebagai ‘orang jalanan, seharusnya dia tidak membebankan permasalahan kemiskinan kepada anak-anaknya dalam pilihan hidupnya. Dilihat dari kacamata manapun, menurut saya membawa seorang anak mencari nafkah dan turun ke jalan adalah sebuah kejahatan besar bagi generasi bangsa. Apalagi, ketika anak tersebut dijadikan ‘promosi’ dari ketidaktegaan dan rasa iba masyarakat, untuk meraup keuntungan materi orang tuanya sehari-hari. Sungguh, sangat tidak manusiawi.
Anak-anak yang tidak beruntung itu, salah satunya Seperti, Fitri 2 tahun, yang harus ikut ibunya ke jalan untuk mencari uang di sekitar perempatan jalan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Seorang anak yang memiliki mata indah, dan senyum ketika belajar dan bermain angka. Sehari-hari, Fitri diajak ibunya untuk berkeliling mengamen dari satu angkot ke angkot lain. Fitri, terlalu pendiam untuk anak seusianya. Di sela-sela istirahat ia hanya memainkan botol aqua di jalan, memandangai kendaraan yang lalu lalang atau terkadang bermain bola di kolong Fly Over Lebak Bulus. Sementara itu orang tuanya, duduk dari jauh mengawasinya. 'Mengawasi' sesungguhnya merupakan sebuah kata yang tidak relefan. Bagi penulis, orang tua yang seperti itu secara tidak sadar telah ‘membunuh’ karakter positif pada anak-anaknya sendiri. Anak seperti Fitri, tidak lagi memiliki kesempatan untuk bermain dan bercerita secara terbuka dan kritis, tidak mendapatkan keharangatn sebuah keluraga dan konsep tentang rumah.
Fitri hanya salah satu contoh, dari sekian banyak generasi anak bangsa yang besar di jalanan. Bayangkan jika dalam 1 kawasan lampu merah saja, ada 1 sampai 5 orang Fitri, maka berapa banyak perempatan di seluruh kota Jakarta saja, apalagi Indonesia. Akan dibawa kemanakan generasi bangsa ini 10 tahun kedepan? Sementara itu, pemerintah masih saja sibuk mengurus hal-hal konsep dalam ruang lingkup kenegaraan, yang menurut mereka menjadi prioritas besar dalam agenda bangsa. Mereka terlalu berfikir besar, namun melupakan perbuatan untuki hal-hal yang kecil. Anak jalanan, mungkin remeh temeh. Namun ini masalah bangsa,yang semoga tidak di cap menjadi bangsa gembel.
Secara ekonomi, komoditas anak-anak di jalanan merupakan kejahatan besar yang terorganisir. Bayangkan, apabila dalam 1 hari seorang anak mendapatkan Rp. 200,000 – 25,000, dan harus menyetor uang sekitar Rp. 5,000-10,000 per anak kepada ‘koordinator’, maka misalnya jika dalam 1 perempatan terdapat 40 anak, pendapatan ‘koordinator’ tersebut kira-kira mencapai Rp. 200,000 sampai 400,000 perhari. Dalam sebulan akan mengantongi sekitar Rp. 6,000,000- 12,000,000. Sebuah jumlah yang besar dan menggiurkan. Bahkan setara dengan gaji level manager di perusahaan-perusahaan elit di Jakarta.
Sekarang, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menyelamatkan generasi jalanan ini? Pada kenyataannya sudah terlalu banyak, orang tua2 ‘bodoh’ (maaf) yang kehilangan hati nurani, tega menjual anaknya sebagai komoditi untuk mencari nafkah. Penyediaan fasilitas berupa pengadaan panti social, mungkin bisa menjadi solusi namun terkadang tidak efisien. Secara, karena setiap kali ada penertiban, semua komunitas jalanan akan berlari menyelamatkan diri dan bersembunyi, lalu selang beberapa jam kemudian kembali lagi. Seperti jamur. Ataukah, dengan memberi uang Rp. 500 rupiah kepada pengamen jalanan bisa menunjukkan kepedulian kita sebagai bagian dari bangsa? Sama sekali tidak tepat. Justru dengan memberikan uang itulah generasi jalanan semakin kuat di jalan.
Menurut penulis solusi yang tepat adalah membina mental generasi jalanan ini yaitu bagaimana caranya membuat mereka memiliki mental yang mandiri, yang terbebas dari 'ketidakberdayaan' dan pola pikir konsumtif dan materialistik. Mental generasi jalanan, adalah mental survival, bebas dan tidak teratur. Kelihatannya mereka mandiri, namun sesungguhnya mereka rapuh dan terbelenggu. Mereka tidak mau dan tidak mampu memilih alternative lain sebagi pilihan hidupnya. Mereka belum mampu berfikir lebih dari sekedar pemenuhan dasar kebutuhan hidupnya, yaitu makan, minum dan uang. Maka penulis setuju untuk bergabung dengan aksi stop memberikan uang kepada anak-anak jalalan, karena toh yang menikmati bukan hanya mereka, namun orang orang tuanya, dan lebih besar lagi, jaringan premanisme jalanan. Ini bukanlah keadilan. Ini kezholiman.
Permasalahan ini tidak akan selesai dengan menyalahkan berbagai pihak. Namun sedikit perbuatan dan empati untuk merubah generasi jalanan menjadi generasi yang tanguh dan mandiri, dan manfaat di masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah, swasta, LSM, mahasiswa dan masyarakat, merupakanan elemen dari perubahan generasi bangsa. Hal ini bisa diupayakan dengan mengadakan kegiatan berupa pembinaan mental, pemberian basic life skill, pendidikan informal, training-training dan mentoring di panti dan non panti, diluar atau di jalanan. Semua ini menjadi PR bersama seluruh elemen bangsa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lembaga Privat Raudhah Community
Dear All,
Alhamdulillah, Raudhah Community saat ini sedang membuat Lembaga Privat untuk umum. Hal ini dimaksudkan untuk menambah income untuk Kas Raudhah Community dan pendapatan untuk para volunteer dan teacher. Berikut mata pelajaran yang akan di ajarkan:
1) al Qur'an:
Mulai dari Iqro dengan Metode Annur dan atau Iqro
Siswa : Anak2 dan Dewasa, Indonesia atau foreigner
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
2) Matematika
Siswa : SD & SMP
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
3) IPA
Siswa : SD
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
4) Bahasa Inggris
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
5) Bahasa Inggris
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
Silahkan hubungi:
Rina di 021 963 91467, email: sabrina.yuliwati@gmail.com
atau
Eva di 021 9899 6563, email: vazul_me@yahoo.co.id
Alhamdulillah, Raudhah Community saat ini sedang membuat Lembaga Privat untuk umum. Hal ini dimaksudkan untuk menambah income untuk Kas Raudhah Community dan pendapatan untuk para volunteer dan teacher. Berikut mata pelajaran yang akan di ajarkan:
1) al Qur'an:
Mulai dari Iqro dengan Metode Annur dan atau Iqro
Siswa : Anak2 dan Dewasa, Indonesia atau foreigner
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
2) Matematika
Siswa : SD & SMP
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
3) IPA
Siswa : SD
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
4) Bahasa Inggris
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
5) Bahasa Inggris
Pengantar: Bahasa Indonesia, Inggris dan Bilingual
Lokasi: di rumah siswa
Silahkan hubungi:
Rina di 021 963 91467, email: sabrina.yuliwati@gmail.com
atau
Eva di 021 9899 6563, email: vazul_me@yahoo.co.id









Tidak ada komentar:
Posting Komentar